Media di Singapura melaporkan seorang tenaga kerja Indonesia di sana menjadi korban perkosaan oleh tetangganya. Pelaku kemudian menyayat dan mencekik korban lalu melemparnya ke luar jendela dari apartemen di lantai dua.
Tenaga kerja Indonesia yang saat penyerangan berusia 26 berhasil selamat dari aksi sadis pelaku, meski mengalami berbagai luka serius. Koran Straits Times melaporkan fakta-fakta ini lewat sidang di Pengadilan Tinggi Singapura.
Identitas korban dan pelaku -- seorang bekas petugas keamanan berusia 44 tahun -- sengaja disembunyikan atas perintah pengadilan.
Menurut koran tersebut, peristiwa kriminal ini terjadi pada September 2009, saat korban keluar apartemen tempatnya bekerja untuk menyalakan kembali listrik yang mati lewat kotak sekering listrik.
Pelaku, yang tinggal di apartemen seberang, mendorong korban ke apartemen yang kosong lalu memperkosanya dua kali, menyayat korban dengan gunting, dan mencekik dengan seutas tali tipis.
Polisi menemukan korban terbaring di blok perumahannya, dengan luka serius, tapi masih hidup.
Menindaklanjuti kasus ini, Yahoo! Singapore mengontak Jolovan Wham, direktur eksekutif lembaga kesejahteraan pekerja migran HOME, untuk memberi tanggapan soal nasib pekerja rumah tangga di Singapura.
"Serangan seperti ini terkutuk dan pelakunya harus dihukum berat. Kehidupan pekerja rumah tangga menyebabkan mereka sangat rentan akan penyiksaan. Masalahnya adalah kurangnya perlindungan buat pekerja domestik migran dalam syarat dan ketentuan kerja mereka," kata dia.
Menurut Wham, jika ada pekerja yang terluka saat melakukan pekerjaannya, mereka berhak mendapat kompensasi menurut Undang-undang Kompensasi Kecelakaan Kerja. Jika pekerja terlindung dalam undang-undang ini, mereka berhak mendapat ganti rugi dari akibat penyerangan ini. Meski begitu, karena pekerja rumahan tidak tergolong dalam undang-undang ini, mereka akan pulang dengan tangan kosong, meski mungkin mengalami cacat permanen akibat penyerangan tersebut.
John Gee, mantan presiden organisasi nirlaba Transient Workers Count Too (TWC2), setuju dengan Wham.
Menurut Gee, pekerja rumah tangga dalam situasi tersebut bisa melapor ke polisi atau Kementerian Tenaga Kerja agar membantu mereka. Mereka juga dapat mengontak organisasi seperti TWC2 atau yang lainnya atau kedutaan besar negara masing-masing.
Gee sadar banyak perempuan dalam situasi tersebut yang akan merasa malu atau takut akan tanggapan dari keluarga mereka. Katanya, "Butuh upaya besar untuk menciptakan lingkungan yang mendukung buat mereka -- khususnya untuk mengatasi rasa bertanggungjawab mereka akan kesalahan orang lain."
Pelaku terancam menerima hukuman seumur hidup dan 24 kali cambukan atas tuduhan percobaan pembunuhan dan pemerkosaan.
Lebih dari 200 ribu perempuan, terutama dari Filipina dan Indonesia, bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Singapura yang secara ekonomi lebih sejahtera daripada dua negara tersebut.
Tenaga kerja Indonesia yang saat penyerangan berusia 26 berhasil selamat dari aksi sadis pelaku, meski mengalami berbagai luka serius. Koran Straits Times melaporkan fakta-fakta ini lewat sidang di Pengadilan Tinggi Singapura.
Identitas korban dan pelaku -- seorang bekas petugas keamanan berusia 44 tahun -- sengaja disembunyikan atas perintah pengadilan.
Menurut koran tersebut, peristiwa kriminal ini terjadi pada September 2009, saat korban keluar apartemen tempatnya bekerja untuk menyalakan kembali listrik yang mati lewat kotak sekering listrik.
Pelaku, yang tinggal di apartemen seberang, mendorong korban ke apartemen yang kosong lalu memperkosanya dua kali, menyayat korban dengan gunting, dan mencekik dengan seutas tali tipis.
Polisi menemukan korban terbaring di blok perumahannya, dengan luka serius, tapi masih hidup.
Menindaklanjuti kasus ini, Yahoo! Singapore mengontak Jolovan Wham, direktur eksekutif lembaga kesejahteraan pekerja migran HOME, untuk memberi tanggapan soal nasib pekerja rumah tangga di Singapura.
"Serangan seperti ini terkutuk dan pelakunya harus dihukum berat. Kehidupan pekerja rumah tangga menyebabkan mereka sangat rentan akan penyiksaan. Masalahnya adalah kurangnya perlindungan buat pekerja domestik migran dalam syarat dan ketentuan kerja mereka," kata dia.
Menurut Wham, jika ada pekerja yang terluka saat melakukan pekerjaannya, mereka berhak mendapat kompensasi menurut Undang-undang Kompensasi Kecelakaan Kerja. Jika pekerja terlindung dalam undang-undang ini, mereka berhak mendapat ganti rugi dari akibat penyerangan ini. Meski begitu, karena pekerja rumahan tidak tergolong dalam undang-undang ini, mereka akan pulang dengan tangan kosong, meski mungkin mengalami cacat permanen akibat penyerangan tersebut.
John Gee, mantan presiden organisasi nirlaba Transient Workers Count Too (TWC2), setuju dengan Wham.
Menurut Gee, pekerja rumah tangga dalam situasi tersebut bisa melapor ke polisi atau Kementerian Tenaga Kerja agar membantu mereka. Mereka juga dapat mengontak organisasi seperti TWC2 atau yang lainnya atau kedutaan besar negara masing-masing.
Gee sadar banyak perempuan dalam situasi tersebut yang akan merasa malu atau takut akan tanggapan dari keluarga mereka. Katanya, "Butuh upaya besar untuk menciptakan lingkungan yang mendukung buat mereka -- khususnya untuk mengatasi rasa bertanggungjawab mereka akan kesalahan orang lain."
Pelaku terancam menerima hukuman seumur hidup dan 24 kali cambukan atas tuduhan percobaan pembunuhan dan pemerkosaan.
Lebih dari 200 ribu perempuan, terutama dari Filipina dan Indonesia, bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Singapura yang secara ekonomi lebih sejahtera daripada dua negara tersebut.
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih telah mengunjungi Blog ini. Kritik dan saran sangat dibutuhkan bagi Saya untuk memperbaikinya.